Jumat, 29 Agustus 2008

Jaga Jarak dengan Perempuan

Beberapa hari ini aku tidak punya waktu tuk menulis. Di samping ada kerjaan, tur tidak punya komputer, ditambah lagi isu yang memusingkan kepala. Kompletlah intinya. Tapi memang beginilah hidup. Tidak mesti mulus-mulus terus. Dalam sepekan, paling tidak ada sehari masalah yang merenggut kepedulian kita. Meminta perhatian sejenak. Atau malah memompa keras gumpalan jantung kita karena terdesak oleh emosi rasa takut.


Benar apa kata ayahku. Kata beliau, jaga jarak dengan perempuan. Mungkin jadi kata-kata itu beliau ambil dari tulisan yang sering ditempel di belakang mobil angkot atau didapat dari ramuan pengalaman hidup. Mengapa aku menduga demikian. Karena di samping profesi beliau dulunya adalah sopir angkot, fenomena di jalanan juga menunjukkan kalau orang yang berkendaraan tanpa menjaga jarak dengan kendaraan di depannya, tidak jarang terjadi tabrakan. Dari itulah mengapa beliau memesankan untuk jaga jarak. Anehnya, nasehat untuk menjaga jarak itu tidak terpaut pada kendaraan, tapi malah tercantel pada perempuan.

Iya, jaga jarak dengan perempuan. Tentu pesan beliau ini tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa perempuan itu adalah syetan, atau seperti yang ditafsirkan oleh banyak umat kristen, bahwa hawa adalah biang kerok terjadinya pengusiran manusia dari kenikmatan hidup di surga. Karenanya segala masalah yang terjadi pada gilirannya sah-sah saja dialamatkan penyebabnya pada perempuan. Tapi kemungkinan maksudnya adalah karena laki-laki tidak cukup kuat menahan nafsu dan perempuan tidak cukup hebat mengendalikan emosi. Jika kedua-duanya bertemu maka yang terjadi adalah seperti dua kutub magnet yang saling menghajatkan. Nafsu terus mendesak dan emosi sering merusak.

Inilah yang terjadi padaku. Emosi lemah perempuan menyajikan rasa malu dalam pangkuan takdirku. Padahal saat-saat ini kuingin berlenggang meniti luas hamparan pengalaman.Menapaki takdir hidup yang kubuat sendiri. Menghirup udara bebas dari tarikan kepentingan. Nyatanya niat baik itu tak semuanya berujung nikmat, aku malah terpuruk oleh tuduhan.

Inilah tarian nasib. Liukan malang sedang menghampir. Kumerasa sisi buruk selebritis yang sering menjadi santapan media memang tidak mengenakkan. Terlalu memekakkan kuping dan memanaskan muka. Rasa tak percaya berulang-ulang bertanya. Mengapa semuanya bisa? Mengapa tidak. Seperti pengalaman yang kutarik, ketika kita mengangkat unjung tongkat, pada hakikatnya kita mengangkat bagian unjung tongkat yang lain. Takdir kadang berbanding lurus dengan sikap dan laku yang kita perbuat.

Tak boleh lari dari kenyataan. Ini prinsip hidupku. Harga diriku terlalu besar untuk diruntuhkan oleh ocehan pinggiran. Peganganku terlalu kuat untuk dilepaskan oleh sangkaan murahan. Dan jalanku terlalu lebar untuk disempitkan oleh masalah perempuan. Sudah kulintasi berbagai rupa masalah. Pengalaman mengajarkan, jangan jatuhkan harga dirimu di hadapan perempuan.

Senaif apapun kita, sejelek apapun kita, dan sebodoh apapun kita, jangan pernah menghamba. Penghambaan hanya terjadi kala kita dan orang yang kita cinta sama-sama sujud. Tapi kala keangkuhan merayap, menyusup meluluri rongga-rongga hati, merasa diri lebih berarti, jangan pernah ada kata cinta. Cinta akan menemukan muaranya kala kita sama-sama merendah. Sama-sama mengenal kata lemah. Baru bolehlah kita saling menghamba. Saling berharap kasih dari dua wajah yang berbeda.

Ucapan maaf sudah kuutarakan. Sekecil apapun takarannya, akulah yang pertama membuka pintu peristiwa. Apapun motifnya, tetap dipandang bersalah. Padahal aku sudah berlari menjauh, dan terus menjauh. Dengan sedikit tolehan ternyata aku tertarik mendekat. Kini tangan sudah kulambaikan, ucapan see you later pun tak akan kuungkapkan. Kuingin memilih takdirku sendiri. Good bye untuk semua yang terjadi.

Sebenarnya tak ada yang salah dengan perempuan. Dia adalah makhluk terindah yang diciptakan Tuhan untuk menghiasi bumi ini. Sangkaan perempuan adalah syetan, perempuan adalah biang musibah, semuanya salah. Yang benar menurutku perempuan itu adalah indah. Sematan kalau perempuan itu syetan, biang musibah, adalah kasuistik. Itu hanya terjadi kala kita betul-betul terpojokkan oleh perempuan. Tapi saat terlenakan, maka perempuan akan menjadi sosok terindah.

Yang terbaik untuk menyikapinya adalah memilih jalan tengah. Goyangan bandul hati tetap kita stabilkan. Jangan terlalu ditarik menyamping. Itu akan berakibat pada dorongan yang hebat di sisi sampingnya. Kala kita terlalu mengindahkannya, suatu saat, jika tepi hati kita tergores oleh tingkahnya, maka sikap mencela akan kencang berayun. Keindahan perempuan pun akan menjadi pudar. Umpatan, makian, dan teriakan kalau perempuan itu adalah syetan akan terlontarkan.

Kini aku hanya terus berjalan. Menyusuri punggung batu-batu jalanan. Sesekali menoleh ke belakang hanya untuk mengambil pelajaran. Tak akan ada lagi dzikir penghibaan. Mengharap lembut tangan sang pujaan. Karena telah kulihat mata indah melebarkan senyum. Menerima semua kelemahanku. Mendampingiku sujud di depan yang Maha Tahu.

Kuingat sekali lagi pesan ayahku, jaga jarak dengan perempuan. Ucapan beliau benar. Jika tak ada jarak, mana bisa kita melihat dengan jelas. Berilah jarak dalam menyikapi semua makhluk. Pindailah dengan cermat, setelahnya ambillah sikap. Kuyakin kita semua akan selamat.

2 komentar:

  1. Seingatku, bukan hanya umat Nasrani yang menyamakan perempuan dengan setan, Hamka dan al-Zamakhsyari dalam buku tafsir mereka juga mengatakan demikian. Bahkan, tipu daya perempuan, di mata mereka, lebih bahaya dari setan. Maka, jika Fahmi menjaga jarak dari perempuan, saya bisa "percaya" :-)

    BalasHapus
  2. Hallo Borneo-Borju... Ikut Ngember...
    sebenarnya syaithon itu siapa??? apa bentuknya syaihton? uka-uka kah??? penampakana kah? hehehr. Biarlah urusan syaithon dan tidak syaithon, itu menjadi hak Tuhan di alam akhirat kelak. Kita hadir dan hidup di dunia. Untuk itu, hiduplah dengan realistis. bukan begitu pak ustadz???
    Laki-laki dan wanita sama saja di hadapan Allah. Bagaimana jika sebaliknya? yang penting jangan menjual syaitahon kelas VIP atau comberan karena orang lain dirugikan.
    Syaihton ada dalam diri masing-masing manusia. Syaithon tampak ketika dia 'Ada', dan tidak menampakan dirinya 'Ada' ketika dia sadar ada sesuatu yang "Ada". ????
    Terus berkarya pak Ustadz.

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.