Jumat, 23 Mei 2014

Aku Tuhan, Kamu mau Apa?

Aku suka Firaun. Dia berani menyatakan diri sebagai Tuhan. Kukira Tuhan pun mengaguminya. Dia bakukan Firaun dalam firman suci-Nya. Dibaca jutaan orang dari setiap generasi. Firaun tidak pernah mati. Tuhan menyelamatkan namanya. Sejarah keberaniannya. Bahkan tulang belulangnya.

Banyak orang ingin jadi Firaun. Sayang, demokrasi membungkamnya. Aku benci demokrasi. Ia menjadikan orang munafik. Bersembunyi di balik tirai. Seperti gerombolan ternak. Hilang kemandirian. Tidak seperti Firaun. Tegas dia berkata: "Aku ini Tuhan." Dia menjadi diri sendiri. Tidak bercermin pada apa yang dikatakan orang. Murni dari kehendak diri.

Orang-orang berujar: "ini masalah moral." Omong kosong. Tidak ada moralitas. Hanya ketakukan pada orang banyak. Berapa banyak orang bermain gila di dalam kelambu. Di mana moral pada saat itu? Tidak ada. Itulah bentuk asli kita. Gila. Moralitas kita munculkan karena kita takut. Kita menjadi keset bagi sepatu demokrasi. Tidak bernyali pada kenyataan.

Abad 21 adalah abadnya para pecundang. Manusia seperti ternak diatur dalam kandang-kandang. Tidak merdeka. Di bawah hukum kemunafikan merajalela. Kasak-kusuk berebut kuasa. Tenar berarti benar. Otak-otak licik tahu itu. Manusia pada hakikatnya gila. Dikendalikan oleh hasrat. Melalui demokrasi si licik menyebarkan kata. Menjadi gada hukum. Kegilaan dipukul. Dikendalikan. Akhirnya kembali masuk kandang. Rapi seperti ternak.

Oh Tuhan. Aku rindu Firaun. Sekarang sejarah teramat pendek. Kemarin mereka melempari batu pada pelaku asusila. Hari ini mereka lupa. Gelombang wacana menyampahi saraf otak mereka. Ingatan mereka cetek. Badut-badut dungu menjadi selebritis. Televisi menjadi mushala. Pagi, siang, malam, mereka mengibadahinya. Tuhan, mengapa mereka semunafik itu. Tidak seperti Firaun saja; Aku ini Tuhan, kamu mau apa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.