Aku
suka Firaun. Dia berani menyatakan diri sebagai Tuhan. Kukira Tuhan pun
mengaguminya. Dia bakukan Firaun dalam firman suci-Nya. Dibaca jutaan
orang dari setiap generasi. Firaun tidak pernah mati. Tuhan
menyelamatkan namanya. Sejarah keberaniannya. Bahkan tulang belulangnya.
Banyak orang ingin jadi Firaun. Sayang, demokrasi membungkamnya. Aku benci demokrasi. Ia menjadikan
orang munafik. Bersembunyi di balik tirai. Seperti gerombolan ternak.
Hilang kemandirian. Tidak seperti Firaun. Tegas dia berkata: "Aku ini
Tuhan." Dia menjadi diri sendiri. Tidak bercermin pada apa yang
dikatakan orang. Murni dari kehendak diri.
Orang-orang
berujar: "ini masalah moral." Omong kosong. Tidak ada moralitas. Hanya
ketakukan pada orang banyak. Berapa banyak orang bermain gila di dalam
kelambu. Di mana moral pada saat itu? Tidak ada. Itulah bentuk asli
kita. Gila. Moralitas kita munculkan karena kita takut. Kita menjadi
keset bagi sepatu demokrasi. Tidak bernyali pada kenyataan.
Abad 21 adalah abadnya para pecundang. Manusia seperti ternak diatur
dalam kandang-kandang. Tidak merdeka. Di bawah hukum kemunafikan
merajalela. Kasak-kusuk berebut kuasa. Tenar berarti benar. Otak-otak
licik tahu itu. Manusia pada hakikatnya gila. Dikendalikan oleh hasrat.
Melalui demokrasi si licik menyebarkan kata. Menjadi gada hukum.
Kegilaan dipukul. Dikendalikan. Akhirnya kembali masuk kandang. Rapi
seperti ternak.
Oh Tuhan. Aku rindu Firaun. Sekarang sejarah
teramat pendek. Kemarin mereka melempari batu pada pelaku asusila. Hari
ini mereka lupa. Gelombang wacana menyampahi saraf otak mereka. Ingatan
mereka cetek. Badut-badut dungu menjadi selebritis. Televisi menjadi
mushala. Pagi, siang, malam, mereka mengibadahinya. Tuhan, mengapa
mereka semunafik itu. Tidak seperti Firaun saja; Aku ini Tuhan, kamu mau
apa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.