Dalam
beragama tidak dapat disangkal adanya faktor historis-sosiologis.
Andaikan kita hidup di Cina, Filipina, atau Thailand, maka sebagian
besar kita bisa menjadi Atheis, Katolik, atau Budha. Namun karena kita
hidup di Indonesia, ceritanya menjadi berbeda.
Kenyataan ini menjadi sangat disayangnya, karena sebagian besar kita ternyata berhenti pada aspek historis-sosiologis ini. Tidak
hanya terjadi pada Islam Abangan, bahkan Islam Santri pun (meminjam
istilah Clifford Geertz) banyak yang berhenti pada level ini.
Ujung-ujungnya kita menjadi KOMUNALISME, menganggap kelompok (umatisme)
lebih penting daripada ajaran agama itu sendiri.
Dampaknya,
khususnya di kalangan santri yang dianggap tahu banyak tentang agama,
ternyata saling cakar-cakaran, bid'ah-membid'ahkan, dan
kafir-mengkafirkan. Harus diakui, semua peristiwa ini terjadi bukan
karena didorong oleh kepentingan ajaran agama an sich, tapi karena di
kelompok mana kita berada. Dalam istilah teknisnya, kita saling berebut
otoritas.
Ibarat menyikapi uang, kita memakan kertasnya, bukan
nilainya. Bagi kita, simbol lebih utama daripada nilai. Ada ajaran Nabi
yang patut direnungkan. Dalam riwayat Muslim disebutkan, bahwa
barangsiapa yang berjuang di bawah bendera kefanatikan, bermusuhan
karena kesukuan, dan menyeru kepada kesukuan, serta tolong menolong atas
dasar kesukuan maka bila dia terbunuh dan mati, maka matinya seperti
jahiliyah.'
Maka tanyakanlah pada hati yang terdalam, istafti
qalbak, apakah sikap dan perilaku keberagamaan kita sekarang ini
betul-betul karena didorong oleh ajaran agama, ataukah karena pengaruh
komunalisme?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.