Jumat, 23 Mei 2014

Komunalisme

Dalam beragama tidak dapat disangkal adanya faktor historis-sosiologis. Andaikan kita hidup di Cina, Filipina, atau Thailand, maka sebagian besar kita bisa menjadi Atheis, Katolik, atau Budha. Namun karena kita hidup di Indonesia, ceritanya menjadi berbeda.

Kenyataan ini menjadi sangat disayangnya, karena sebagian besar kita ternyata berhenti pada aspek historis-sosiologis ini. Tidak hanya terjadi pada Islam Abangan, bahkan Islam Santri pun (meminjam istilah Clifford Geertz) banyak yang berhenti pada level ini. Ujung-ujungnya kita menjadi KOMUNALISME, menganggap kelompok (umatisme) lebih penting daripada ajaran agama itu sendiri.

Dampaknya, khususnya di kalangan santri yang dianggap tahu banyak tentang agama, ternyata saling cakar-cakaran, bid'ah-membid'ahkan, dan kafir-mengkafirkan. Harus diakui, semua peristiwa ini terjadi bukan karena didorong oleh kepentingan ajaran agama an sich, tapi karena di kelompok mana kita berada. Dalam istilah teknisnya, kita saling berebut otoritas.

Ibarat menyikapi uang, kita memakan kertasnya, bukan nilainya. Bagi kita, simbol lebih utama daripada nilai. Ada ajaran Nabi yang patut direnungkan. Dalam riwayat Muslim disebutkan, bahwa barangsiapa yang berjuang di bawah bendera kefanatikan, bermusuhan karena kesukuan, dan menyeru kepada kesukuan, serta tolong menolong atas dasar kesukuan maka bila dia terbunuh dan mati, maka matinya seperti jahiliyah.'

Maka tanyakanlah pada hati yang terdalam, istafti qalbak, apakah sikap dan perilaku keberagamaan kita sekarang ini betul-betul karena didorong oleh ajaran agama, ataukah karena pengaruh komunalisme?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.