Jumat, 23 Mei 2014

Mengindonesiakan Bahasa Daerah

Kemarin saya dapat sms dari teman yang isinya memuat kata 'kepo.' Karena tidak sanggup memahami makna kata itu secara gramatika, saya kembali bertanya, apa arti kata kepo? Teman saya sambil tertawa malah membalas, katanya saya tidak gaul. Penasaran, saya cari arti itu di kamus slang (http://kamusslang.com/arti/kepo), ternyata akronim dari 'knowing every particular object." Tegasnya orang yang serba tahu.

Ketika membuka kamus slang, dan tahu kalau kamus itu memuat 6839 kata, saya sempat berpikir, begitu kreatifnya anak bangsa ini dalam membuat istilah baru. Tapi sayang, asumsi saya, kata-kata slang itu tidak bersumber dari tradisi lokal. Padahal menurut Pusat Bahasa Depdiknas, kita memiliki sekitar 746 bahasa daerah. Sekiranya masing-masing bahasa daerah itu dipopulerkan, dan masuk dalam KBBI, Bahasa Indonesia akan sangat kaya.

Almarhum Cak Nur, sapaan akrab Nurcholish Madjid pernah mengatakan kalau terjemahan al-Qur'an dari Departemen Agama (sekarang Kemenag) adalah terjemahan yang paling jelek. Salah satu alasannya adalah karena bahasa Indonesia itu miskin. Sementara bahasa al-Qur'an yang diterjemahkan sangat kaya. Yang cukup mampu menampung bahasa al-Qur'an adalah bahasa Inggris. Makanya terjemahan al-Qur'an versi Ali Audah dianggap Cak Nur lebih baik dari versi Depag. Karena Ali Audah, disamping sastrawan, tahu bahasa Arab dan agama, di juga menterjemahkan dari versi Inggris, The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, karya Yusuf Ali.

Bangsa Indonesia sebenarnya sudah sangat luar biasa. Karena di antara sekian banyak bangsa, bangsa Indonesia adalah yang termasuk paling sukses mengembangkan bahasa nasional. Belum banyak yang mampu menandingi. India contohnya. Mereka gagal memaksakan bahasa Hindi, yaitu bahasa India Utara, sebagai bahasa nasional. Orang-orang Tamil, Calcutta, dll. menolaknya. Begitu juga di Manila dengan bahasa Tagalognya. Sama gagalnya dengan India. Orang-orang Manila lebih suka berbahasa Inggris. Persis sama dengan bangsa Malaysia yang lebih suka berbahasa Inggris daripada bahasa Melayu.

Karena itu, sudah saatnya kita mengindonesiakan bahasa daerah. Tentu saja yang paling berperan adalah orang-orang yang berada di pusat informasi. Saya perhatikan, bahasa slang itu lebih banyak dikembangkan oleh 'banci-banci' metropolis. Maka ada baiknya Lembaga Pusat Bahasa Depdiknas memperhatikan orang-orang ini. Mengajak mereka mempopulerkan bahasa daerah. Dengan usaha deliberasi, insyaAllah bahasa Indonesia akan semakin kaya. Tidak hanya berjumlah 90.000 lema, tapi bahkan bisa mencapai jutaan lema.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.