Islam
itu adalah sejarah Nabi Muhammad. Al-Quran dan hadis adalah bagian dari
sejarah Nabi. Karena itu untuk memahami Islam, pahamilah sejarah Nabi.
Kalimat ini pernah kubaca dalam buku Catatan Harian Ahmad Wahib.
Bagaimana persisnya, Aku lupa. Tapi seingatku begitu. Pemikiran Wahib
ini bagiku sangat menarik. Dia menempatkan Islam dalam kondisi terbuka
untuk dialog. Tidak kaku. Walaupun dalam
kenyataannya menjadi ciri khas Islam untuk mensakralkan sejarah. Ini
bukan kata-kataku. Dalam bagian akhir pengantar bukunya, Islam: A Short
History, Karen Armstrong mengatakan:
An account of the external
history of the Muslim people cannot, therefore, be of mere secondary
interest, since one of the chief characteristics of Islam has been its
sacralization of history.
Aku kira pikiran Wahib perlu
diapresiasi. Karena sakralisasi sejarah, jika sudah membatu, akan
"berbahaya." Bagi Wahib, senormatif apapun ajaran Islam, ia diwadahi
oleh sejarah. Artinya ada ruang terbuka untuk intervensi pikiran. Ketika
sejarah dibuang, nomatif diagungkan, menjadi kebenaran, timbullah
perang berebut kekuasaan. Banyak cerita bagaimana doktrin al-Quran
dimainkan. Tapi karena dasar manusia sulit disatukan; perang ayat, klaim
kebenaran, bunuh-bunuhan, menjadi bagian dari Islam.
Tapi
kupikir tidak mengapa. Bukankah manusia adalah tempatnya khilaf dan
salah. Manusia tidak sempurna. Ini yang sering kudengar dari lagu cinta.
"Well, I guess I'm not that good anymore, but baby, that's just me,"
kata Bon Jovi dalam Always. Bahkan Tuhanpun mengamini kelemahan manusia.
Hanya saja kata-Nya, jika kamu terus berbuat salah, kamu akan merugi.
Cobalah untuk saling mengingatkan. Ini jalan-Ku, percayalah
(al-Ashr/103:1-3).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.