Saya
suka cara berpikir umat Islam Indonesia. Mereka sangat fleksibel. Tidak
normatif plek. Saya kira ini suatu kemajuan. Idealnya, seluruh partai
yang berbasis agama Islam itu bergabung, sehingga akan memperoleh banyak
suara. Seperti terlihat dari perhitungan cepat RRI: PKB 9,51%; PKS
6,62%; PAN 7,64%, PPP 6,45%, PBB 1,60%. Jika ditotal, mereka dapat
memperoleh suara 31,82 %. Tapi nyatanya mereka tidak mau idealisme semacam itu.
Saya kira mereka sadar, berpartai itu bukan agama. Hanya ikhtiar.
Bahkan dalam urusan peribadatan pun mereka fleksibel, masih berbeda.
Maka menjadi tidak relevan kemudian menuding orang yang memilih PDIP
(19%), P.Golkar (14,30%) dan partai-partai lainnya sebagai tidak islami.
Tidak, itu juga semacam ikhtiar. Saya lihat kesadaran mereka akan
wilayah profan dan sakral sudah sangat baik.
Nah, menjadi
keliru juga kemudian menganggap orang yang memilih partai berbasis agama
tidak memiliki kesadaran itu. Sekali lagi, itu hanya ikhtiar. Afiliasi
kepartaian, terutama terhadap yang berbasis Islam, tidak hanya murni
dibangun atas agama. Ada banyak faktor. Bisa emosional, primordial,
proximity, dll. Umat Islam Indonesia itu sudah dewasa. Partai hanya
sekedar istrumen untuk memilih talang (anggota legislatif). Kalaupun ada
talang yang ba'al (basah), korup, dan busuk, tidak bisa mereka yang
disalahkan; walaupun ada saham.
Cara berpikir semacam ini perlu
dipertahankan. Kalaupun di kemudian hari ada beberapa partai berbasis
Islam bergabung. Memfusi jadi satu. Saya kira itu bukan dalam rangka
membangun teokrasi atau absolutisme masjid, hanya sekedar ikhtiar untuk
mencari alternatif. Islam tidak bisa direduksi dengan model cara
berpartai. Islam memiliki substansi yang khas yang bisa menyembul dalam
banyak wajah. Partai Islam adalah wajah; tapi tidak mutlak Islam. Partai
Islam hanya sekedar jigsaw puzzle yang masih berproses mencari
kepingan-kepingan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.