Dalam suatu diskusi terbatas, K.H. Muhammad Maimun
mengatakan, bahwa umat Islam sekarang ini telah mengalami dislokasi,
disorientasi, dan disintegrasi. Membawa ajaran Islam tapi lupa perihal
kekinian dan kedisinian. Islamnya mengambang. Kehilangan pijakan
(dislokasi) sehingga tidak tau arah tujuan (disorientasi). Saling klaim
kebenaran, akhirnya sesama Islam jatuh menjatuhkan (disintegrasi).
Umat Islam itu semestinya mengair dan mengudara. Dapat merembes dan
memenuhi tempat di mana-mana. Eklektik, merasuki dan mensucikan.
Proaktif, penuh tanggung jawab. Seperti konsep masjid, mushalla, surau,
atau langgar, di mana pun ia didirikan, bahkan di tempat pelacuran
sekalipun; ia akan mensucikan. Tinggal bagaimana mengerahkan pikiran,
menyingsingkan lengan, menghikmahi, agar wilayah 'suci' bertambah luas.
Sekarang tidak. Walaupun mengatakan ini akan dituduh dramatic instance
(overgeneralisasi), tapi begitulah kenyataan. Indonesia adalah ladang
Islam mengambang. Banyak, tapi tidak memahami betul apa yang dipegang.
Betul di sana ada al-Quran, hadis, dan tauhid, tapi hanya sebutan.
Tuhan, prinsip, ditafsirkan macam-macam. Sesuai keperluan, dan tidak
jarang sesuai pesanan. Akhirnya sama-sama berpegang pada Tuhan dan
prinsip, tapi tidak pernah harmoni. Pukul-pukulan. Ruang gerak umat
makin sempit. Sesama Muslim saling mengkapling.
K.H. Muhammad
Maimun meneteskan air mata. Merasa sangat berdosa. Tidak memiliki
kekuatan memberi pemahaman. Orang-orang Islam sudah semakin pintar. Dia
hanya seorang kiai kampung di pojok Indramayu. Mengajar santri,
berdiskusi, membimbing masyarakat, dan sesekali hadir di ruang kelas
mahasiswa. Sekarang ketenaran menjadi kebenaran. Sambil mengisap rokok
klobotnya dalam-dalam, mengeluarkan pelan-pelan, Kiai haji terdiam
merem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.