Ustadz
artinya adalah guru. Karena di Indonesia kata guru secara leksikal
bermakna pengajar di sekolah umum, maka kata ustadz akhirnya lebih
dikhususkan menjadi guru agama. Konsekuensinya, kata ustadz lekat dengan
simbol kesucian dan kebaikan. Yaitu seorang yang memiliki ilmu agama
sekaligus dianggap sebagai pribadi yang agamis.
Pergeseran makna dari leksikal
ke kontekstual ini juga mirip dengan kata Valentine. Diambil dari nama
seorang Santo (orang suci), Valentinus. Seorang yang dihukum pancung
akibat lancang menikahkan pasangan yang jatuh cinta. Keberanian Santo
ini kemudian diabadikan menjadi simbol kasih sayang. Maka dikenalah
istilah Valentine's Day, hari kasih sayang. Memang banyak versi, tapi
kita cukupkan mengambil versi ini.
Kata ustadz dan
valentine sekarang ramai dibicarakan di dunia maya. Yang pertama karena
video ustadz Hariri, da'i tiban, menindih (bukan menginjak) kepala orang
dengan lutut. Sementara yang kedua, karena besok, 14 Pebruari 2014,
akan diperingati hari kasih sayang (Valentine's Day), hari yang identik
dengan bermesra-mesraan.
Orang ribut karena tidak seharusnya si
Hariri, ustadz tiban, berlaku begitu meski dilandasi alasan
bagaimanapun. Seorang ustadz harusnya mampu mengendalikan diri.
Mengayomi. Seperti Nabi, disakiti tapi malah menyayangi. Dijahati tapi
mendoakan kebaikan. Bukan malah mengasih lutut ke tengkuk orang.
Masyarakat tidak mau tahu, harusnya seorang ustadz ya begitu itu.
Bermoral.
Adapun hari valentine, bagi kalangan agamis, ini
adalah budaya merusak. Tradisi Barat yang tidak patut untuk ditiru.
Meniru berarti bagian dari mereka. Hukumnya adalah haram. Valentine's
Day sama dengan seks bebas. Kasih sayang yang salah sasaran. Memberi
makan libido yang tidak pernah kenyang. Melahirkan generasi berpikir
pendek dan cetek.
Kasihan ustadz Hariri, dia terperangkap oleh
budaya. Padahal Islam mengajarkan hal yang sangat realistis, bahwa
manusia itu tetaplah manusia. Rebutan kekuasaan. Marah kemudian memukul
orang. Benci kemudian mencaci maki orang. Tidak ada manusia suci. Tapi
budaya mengurungya untuk selalu berbuat SEHARUSNYA (normatif) dan
mendelete sisi KEMANUSIAANNYA (historis).
Kasihan juga
Valentine's Day, orang Indonesia hanya melihat dari sisi sejarahnya.
Bahwa budaya itu merusak moral. Tapi tidak kembali pada makna
leksikalnya, berkasih sayang. Sebagaimana sifat Tuhan al-Rahman dan
al-Rahim. Everyday is Valentine's Day dalam Islam.
Memang ada
saatnya kita mengabaikan asal-usul, dan ada saatnya untuk menggalinya.
Orang mungkin banyak yang tidak tahu kalau kata Minggu itu diambil dari
bahasa Portugis, Domingo hari Tuhan. Dari agama pagan, penyembah
berhala. Menara di depan masjid dari kata manaarah, agama majusi,
penyembah api. Kubah masjid dari Byzantium, tradisi Kristen, dll. Namun
karena baik, diambil fungsinya, dibuang sama sekali kaitan kemusyrikan
asal-usulnya.
Kemudian berkenaan dengan kata ustadz, dalam
melihat kasus ustadz Hariri, ada baiknya menggali asal-usulnya. Bahwa
ustadz itu hanya sekedar manusia biasa. Tidak ada keharusan untuk
menjadi baik sepanjang masa. Itu hanya sekedar HARAPAN. Sama sebagaimana
yang diharapkan pada semua manusia. Bukankah orang Islam Indonesia itu
baik dan suka memaafkan. Jangankan seorang ustadz, kuroptor saja
dibiarkan. Kata orang, nama INDONESIA itu berasal dari kata AMNESIA,
lupa ingatan. Maka harusnya menjadi watak orang Indonesia untuk
melupakan segala hal yang tidak mengenakkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.