Jumat, 23 Mei 2014

Ustad Hariri: Everyday is Valentine's Day

Ustadz artinya adalah guru. Karena di Indonesia kata guru secara leksikal bermakna pengajar di sekolah umum, maka kata ustadz akhirnya lebih dikhususkan menjadi guru agama. Konsekuensinya, kata ustadz lekat dengan simbol kesucian dan kebaikan. Yaitu seorang yang memiliki ilmu agama sekaligus dianggap sebagai pribadi yang agamis.

Pergeseran makna dari leksikal ke kontekstual ini juga mirip dengan kata Valentine. Diambil dari nama seorang Santo (orang suci), Valentinus. Seorang yang dihukum pancung akibat lancang menikahkan pasangan yang jatuh cinta. Keberanian Santo ini kemudian diabadikan menjadi simbol kasih sayang. Maka dikenalah istilah Valentine's Day, hari kasih sayang. Memang banyak versi, tapi kita cukupkan mengambil versi ini.

Kata ustadz dan valentine sekarang ramai dibicarakan di dunia maya. Yang pertama karena video ustadz Hariri, da'i tiban, menindih (bukan menginjak) kepala orang dengan lutut. Sementara yang kedua, karena besok, 14 Pebruari 2014, akan diperingati hari kasih sayang (Valentine's Day), hari yang identik dengan bermesra-mesraan.

Orang ribut karena tidak seharusnya si Hariri, ustadz tiban, berlaku begitu meski dilandasi alasan bagaimanapun. Seorang ustadz harusnya mampu mengendalikan diri. Mengayomi. Seperti Nabi, disakiti tapi malah menyayangi. Dijahati tapi mendoakan kebaikan. Bukan malah mengasih lutut ke tengkuk orang. Masyarakat tidak mau tahu, harusnya seorang ustadz ya begitu itu. Bermoral.

Adapun hari valentine, bagi kalangan agamis, ini adalah budaya merusak. Tradisi Barat yang tidak patut untuk ditiru. Meniru berarti bagian dari mereka. Hukumnya adalah haram. Valentine's Day sama dengan seks bebas. Kasih sayang yang salah sasaran. Memberi makan libido yang tidak pernah kenyang. Melahirkan generasi berpikir pendek dan cetek.

Kasihan ustadz Hariri, dia terperangkap oleh budaya. Padahal Islam mengajarkan hal yang sangat realistis, bahwa manusia itu tetaplah manusia. Rebutan kekuasaan. Marah kemudian memukul orang. Benci kemudian mencaci maki orang. Tidak ada manusia suci. Tapi budaya mengurungya untuk selalu berbuat SEHARUSNYA (normatif) dan mendelete sisi KEMANUSIAANNYA (historis).

Kasihan juga Valentine's Day, orang Indonesia hanya melihat dari sisi sejarahnya. Bahwa budaya itu merusak moral. Tapi tidak kembali pada makna leksikalnya, berkasih sayang. Sebagaimana sifat Tuhan al-Rahman dan al-Rahim. Everyday is Valentine's Day dalam Islam.

Memang ada saatnya kita mengabaikan asal-usul, dan ada saatnya untuk menggalinya. Orang mungkin banyak yang tidak tahu kalau kata Minggu itu diambil dari bahasa Portugis, Domingo hari Tuhan. Dari agama pagan, penyembah berhala. Menara di depan masjid dari kata manaarah, agama majusi, penyembah api. Kubah masjid dari Byzantium, tradisi Kristen, dll. Namun karena baik, diambil fungsinya, dibuang sama sekali kaitan kemusyrikan asal-usulnya.

Kemudian berkenaan dengan kata ustadz, dalam melihat kasus ustadz Hariri, ada baiknya menggali asal-usulnya. Bahwa ustadz itu hanya sekedar manusia biasa. Tidak ada keharusan untuk menjadi baik sepanjang masa. Itu hanya sekedar HARAPAN. Sama sebagaimana yang diharapkan pada semua manusia. Bukankah orang Islam Indonesia itu baik dan suka memaafkan. Jangankan seorang ustadz, kuroptor saja dibiarkan. Kata orang, nama INDONESIA itu berasal dari kata AMNESIA, lupa ingatan. Maka harusnya menjadi watak orang Indonesia untuk melupakan segala hal yang tidak mengenakkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.