Kudengar
dari jauh IAIN Antasari telah direstui menjadi UIN Antasari.
Alhamdulillah. Sebagai warga Kal-Sel Aku turut bangga. Ada perubahan.
Walau tidak pasti ke mana nanti ia dibawa angin. Apakah hanya sekedar
Universitas. Tidak berbeda dengan kebanyakan. Ataukah memiliki banyak
kelebihan, yang melapisi banggaku dengan senyuman ketika nama itu
kusebutkan.
Universitas. Menyeluruh.
Kulliyyah. Kata mahasiswa kuliah. Tapi itu maknanya sempit, fakultatif.
Satu dari sekian, bukan segenap. Ada Islam setelah Universitas. Ada
batas. Seperti mencari calon istri, boleh ditambahkan apa saja sesudah
berharta, keturunan baik-baik, dan cantik. Bisa muda, cerdas, subur, dan
lain-lain; tapi semua itu harus berdiri di atas fondasi agama. Islam
maksudnya. Bukan sekedar nama, tapi Islam yang contagious. Menjalar ke
otak, hati, dan perbuatan.
Begitu juga dengan UIN Antasari.
Tentunya bukan sekedar gengsi-gengsian, tapi ada cita-cita mulia.
Melahirkan output yang tidak split. Di natural scienses-nya ada agama.
Di Social Sciences-nya ada agama. Dan di humanities-nya juga ada agama.
Adapun yang kuliah di fakultas agama, tiga cabang ilmu itu diharapkan
bukan sekedar merembes, tapi eksis. Sehingga UIN betul-betul UIN, bukan
Universitas Iklan Negeri. Seperti dalam kotak televisi, berseleweran
dagangan, tapi satu sama lain tidak saling bersentuhan.
Tugas
yang sangat berat tentunya. Karena itu semuanya harus berubah. Bergerak.
Paradigma diupgrade. Diinstall dengan yang baru. Lebih kompatibel.
Dosen sebagai motor penggeraknya juga harus energik. Tidak lagi
mengandalkan pengetahuan lama. Epistemologinya tidak boleh lagi kaku.
Ada sains dan historis yang harus terlibat dalam kajian teks normatif.
Ada filsafat yang memberikan peta. Tidak melulu berada dalam context of
justification (mencari pembenaran), tapi juga bergerak ke context of
discovery (menemukan). Karena itu ada penguatan di bidang historis.
Masalah gedung dan sarana prasarana tidak jadi soal apapun nilai
filosofis yang ditanamkan. Hanya asesoris. Tidak utama. Di Yogya, antara
keislaman, kemodernan, keindonesiaan, dan lokalitas Jawa dipadukan. UIN
Antasari tidak memiliki halangan berepigon. Mengganti kejawaaan dengan
kebanjaran. Sekarang di berbagai bangunan kota di Indonesia, nuansa
keislaman dan lokalitas banyak yang hilang. Karena memang arsitektur
hanyalah sebuah profesi yang berorientasi pada klien.
Pada
tahap awal, apa bisa IAIN Antasari beranjak menjadi UIN? Sebagai warga
yang berbangga Aku harap bisa. Kampus bukan ladang politik. Tidak perlu
ada tarik menarik kepentingan. Ini akademik. Keilmuan. Memang dalam
proyek UIN ada sesuatu. Tapi kuyakin ilmu dapat mengatasi. Ikhlas
beramal landasan utamanya. Ada keterlibatan. Ada rancangan. Diskusi,
kritik, tapi dalam bingkai kebersamaan. Sarana prasarana memang bukan
yang utama. Walau kadang bagi beberapa orang di situ ada kehidupan.
Manusiawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.